Terdapat hubungan
korelatif antara fenomena kejahatan dan penyimpangan level mikro-messo dengan
kuat-lemahnya negara. Saat kekuatan negara berkurang, yang mengakibatkan
berkurang pula kontrol negara atas perilaku berbagai elemen kemasyarakatan,
maka kejahatan dan penyimpangan pada level mikro-messo meningkat. Sebaliknya,
negara yang kuat akan mampu menjangkau berbagai fenomena mikro-messo tersebut
dan menetralisirnya tanpa takut atau khawatir kehabisan tenaga saat muncul
ekses-ekses ikutannya.
Jika negara menguat atau amat kuat, kejahatan dan
penyimpangan oleh negara lebih berupa suatu tindakan aktif (commission)
dalam rangka melanggar hak-hak warga negara dengan atau tanpa mengindahkan
sistem hukum yang ada. Sebaliknya, jika negara melemah sebagaimana terlihat
dewasa ini, maka kejahatan dan penyimpangan oleh negara lebih berupa pembiaran
(omission) terkait dengan kejahatan dan penyimpangan yang dilakukan
pihak-pihak lain, khususnya yang berada pada level messo-mikro.
Semakin besar niat untuk menghindarkan diri melakukan
kejahatan ataupun penyimpangan negara, diperkirakan akan semakin banyak muncul
hambatan, yang salah satunya berasal dari elemen-elemen dalam negara itu
sendiri.
Terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan entitas sebesar
negara, kemungkinan solusi terbaik adalah melalui konsolidasi sosial-politik
antar-elemen-elemen non-negara, dan bukan dengan membawanya ke jalur hukum.
Apabila disebut sebagai preposisi kriminologis, hal itu
mengingat gaya berpikir preposisi-preposisi tersebut yang berbeda dengan
preposisi hukum yang lebih melihat dan bersandar pada ada-tidaknya ketentuan
normatif serta diperlukannya acara dan proses beracara yang tepat dalam rangka
menggunakan ketentuan tersebut. Preposisi kriminologis juga berbeda dengan
pendekatan hak asasi manusia mengingat preposisi ini dalam beberapa hal melihat
pelanggaran hak asasi manusia sebagai sesuatu yang tak terhindarkan serta
melekat dalam dinamika negara dan, bahkan, dalam penyelenggaraan kekuasaan
negara
Negara baru bisa berjalan dan berfungsi jika secara
simultan dan komplementer menjalankan berbagai sistem yang secara inklusif dan
eksklusif memang merupakan kewenangan dan porsi negara untuk menjalankannya.
Sistem tersebut adalah sistem politik, sistem ekonomi, serta sistem hukum.
Masih menjadi perdebatan, apakah terkait sistem-sistem lain, negara juga
memiliki kewenangan dan porsi sebesar tiga sistem sebelumnya; katakanlah
menyangkut sistem sosial, sistem budaya, sistem adat (ada pula yang
menyatukannya dengan sistem budaya), sistem agama, sistem keamanan, serta sistem perilaku (terdapat kalangan yang
tidak menyetujui penyebutan tentang hal ini). Khusus mengenai sistem politik
dan sistem ekonomi sendiri, ada yang menyebutnya sebagai sistem ketatanegaraan
serta sistem moneter.
Mengapa disebut sistem, karena pada dasarnya terjadi
proses pengolahan atas input guna menjadi output yang dikehendaki
dan, setelah memasuki tingkatan dampak, akan kembali menjadi sumber input.
Dalam konteks tersebut, maka sistem politik dapat dikatakan merupakan sistem
yang mengolah variabel-variabel yang diperlukan dalam rangka dihasilkannya
suatu keputusan, kebijakan, atau tindakan politik tertentu. Adapun pengolahnya
adalah para partisipan yang aktif dalam
sistem politik seperti pemerintah yang berkuasa, parlemen, partai politik,
maupun individu ataupun lembaga yang biasa dikelompokkan menjadi entah itu
kelompok pengawas (oversight group) kelompok penekan (pressure group),
atau kelompok kepentingan (interest group).
Terkait sistem ekonomi, maka partisipannya adalah
pemerintah itu sendiri, parlemen, komisi persaingan usaha, pasar,
asosiasi-asosiasi terkait berbagai bidang usaha dan usahawan, pemodal, maupun
masyarakat konsumen itu sendiri. Mereka berinteraksi dalam suatu sistem ekonomi
dan menghasilkan keluaran berupa.
Terkait sistem hukum, yang dilihat adalah berbagai proses
dan interaksi dalam rangka pembentukan, evaluasi, dan penerapan hukum seiring
dengan niatan melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terkait perilaku
tertentu. Hal tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti pengadilan,
kejaksaan, kepolisian, berbagai komisi yang terkait dengan hukum, parlemen,
media massa, serta masyarakat sendiri selaku subjek hukum.
Tentu saja, dalam rangka pergulatan atau interaksi dalam
ketiga sistem tersebut, selalu akan terjadi situasi menang-kalah,
berhasil-gagal, terpenuhi-tidak terpenuhinya aspirasi serta kepentingannya,
dilanjutkan dengan timbulnya perasaan seperti senang-sedih, jengkel-bangga, dan
sebagainya. Meskipun demikian, apabila yang muncul justru perasaan sebagai
korban (felt victimized), maka ada kemungkinan proses atau interaksi
dalam sistem tersebut sebenarnya berlangsung tidak transparan (sehingga banyak
hal menjadi tidak terbuka), curang, tidak etis, tidak adil atau diskriminatif,
ataupun telah direkayasa agar berakhir dengan hasil tertentu yang dikehendaki.
Amat mungkin, perasaan sebagai korban tersebut merupakan
sesuatu yang individual sifatnya. Jika demikian, hal itu tidak dibicarakan di
sini. Yang menjadi fokus pembahasan ini adalah situasi viktimisasi yang mengimplikasikan orang dalam jumlah yang
besar atau massal dan hampir dapat dipastikan dilakukan (secara sengaja atau
tidak sengaja, langsung atau tidak langsung) oleh pihak yang mewakili negara.
Selain proses dan interaksi dalam masing-masing sistem,
negara juga bertugas mengkoordinasikan dan mensinergikan ketiganya. Persoalan
sistem mana yang didahulukan, kepentingan apa yang ditonjolkan, adalah
persoalan pilihan kebijakan yang tak jarang harus diputuskan secara strategik.
Walau demikian, sebenarnya negara dapat saja dituding telah berbuat tidak adil,
karena memberikan preferensi tanpa dasar yang kuat.